Minggu, 09 Desember 2007

Kedudukan Nabi atas Mukmin

http://pustakamawar.wordpress.com/2007/11/23/kedudukan-nabi-atas-mukmin/

Kedudukan Nabi atas Mukmin

Nabi Muhammad Sholallah alahi wassalam itu lebih utama

Ditulisan kami yang berjudul Pengikut NU Masuk Neraka justru mendapatkan komentar mengenai seputar polemik pembahasan bagaimana hukum mengadakan peringatan Maulid Nabi bagi umat Islam? Maulidan itu bidah yang sesat atau bidah yang baik? Komentar yang berlatar belakang pemikiran dari temen-temen salafi atau wahabi langsung menuduh bahwa maulid itu bidah sesat. Menyelenggarakan maulid itu tidak ada tuntunannya. Hukumnya dosa, demikian komentar yang masuk di blog kami. Sedangkan komentar yang berlatar belakang temen-temen ahlu sunnah bahwa maulid itu perkara yang tidak dilarang. Dan bahkan ada komentar yang menyalahkan dan menuduh kami ini dan itu. Tentu kita ambil semua komentar sabagi kasanah keilmuan dan wawasan. Karena banyak komentar yang demikian kirinya perlu kami tulis tersendiri agar ada penjelasan seimbang, lebih rinci. Tulisan di bawah ini merupakan bagian pertama. Kami hanya mengungkapkan bahasan bagaimana kedudukan dan keutamaan Nabi Muhammad Sholallah alaihi wassalam terhadap orang-orang mukmin?

Menelusuri kedudukan Nabi Muhammad Sholallah alaihi wassalam alangkah baiknya jika dimulai dari firman Alloh Taala sebagai berikut:

النَّبِيُّ اَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ وَاَزْوَاجُهُ اُمَّهَاتُهُمْ وَاُوْلُو اْلاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ مِنْ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُهَاجِرِيْنَ اِلاَّ اَنْ تَفْعَلُوْا اِلَى اَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوْفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُوْرًا(الاحزاب:٦)

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” (QS. Al-Ahzaab:6)

Firman Allah Taala dalam surat Al Ahzaab pada ayat keenam di awal dengan kalimat

النَّبِيُّ اَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ

    memberi penjelasan kepada kita tentang kedudukan Nabi saw. bagi orang-orang mukmin. Mengenai makna ayat tersebut para ulama’ memberikan dua penafsiran.

    Ayat dapat dipahami dengan jelas melalui hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra. bahwa Nabi saw. bersabda:

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلاَّ وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ (رواه البخاري)

Tidak ada dari seorang mukmin melainkan aku mengurusinya di dunia dan akhirat.” (HR. Bukhari).

Hal ini dilihat dari sisi begitu besarnya belas kasih dan sayang yang diberikan Nabi Sholallah alaihi wassalam, kepada umatnya.

Makna النَّبِيُّ اَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ

Dengan demikian hendaknya kedudukan Nabi Sholallah alaihi wassalam lebih

utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. Maksudnya penempatan hak

beliau seharusnya lebih didahulukan daripada hak orang-orang mukmin pada

umumnya. Alasan terkuat mengapa diri Nabi Sholallah alaihi wassalam harus lebih didahulukan daripada

diri orang-orang mukmin, karena jiwa beliau mengajak kepada surga sedangkan jiwa

mereka mengajak kepada kerusakan. Menurut Ibnu ‘Athiyah pendapat tersebut

diperkuat oleh sabda Nabi Sholallah alaihi wassalam yang lain.

أَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَقْتَحِمُوْنَ فِيْهَا(متفق عليه)

Saya hendak memegang ikat pinggang kalian (agar menjauh) dari neraka, tapi kalian malah menceburkan diri ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sangatlah layak setiap mukmin mendahulukan ketaatan kepada Nabi Sholallah alaihi wassalam daripada mengikuti bisikan syahwat yang ada dalam diri mereka, meski harus mengalami kesulitan untuk melakukannya. Tepat sekali setiap mukmin lebih mencintai Rasululloh Sholallah alaihi wassalam daripada mencintai diri mereka sendiri, Nabi Sholallah alaihi wassalam bersabda.

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ(متفق عليه)

Tidak sempurna iman seseorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada anak dan orang tuanya serta semua orang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika mendengar hadits ini, sayyidina Umar bin Khattab ra. berkata dengan jujur kepada Nabi saw., “Wahai Rasululloh, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Rasululloh saw. besabda kepadanya, “Demi Dzat Yang menguasai jiwaku, iman kamu belum sempurna sampai kamu mencintaiku lebih dari kecintaanmu terhadap dirimu sendiri.” Lalu Umar ra. berkata, “Demi Allah, sungguh mulai saat ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Rasululloh saw. bersabda, “Sekarang (iman kamu telah sempurna) wahai Umar.” (HR. Bukhari)

Imam al-Khaththabi memberi komentar terhadap maksud hadits ini, yaitu kamu harus jujur dan benar dalam mencintaiku (Nabi saw.) sehingga kamu harus tenggelam dalam ketaatan kepadaku dan memprioritaskan kerelaanku di atas kemauan hawa nafsumu, walaupun hal itu akan berakibat kebinasaan atas kamu dan menuntutmu untuk berkorban.

Nabi Sholallah alaihi wassalam adalah rahmat bagi setiap manusia, baik ia beriman maupun kafir. Bedanya, orang yang beriman menerima rahmat dari Allah Swt. yang juga diberikan kepada seluruh umat ini dan mendapatkan manfaatnya di dunia dan akhirat. Sedangkan orang-orang kafir menolak rahmat ini dan tidak mau menerimanya. Namun bukan berarti dengan penolakan mereka tidak lantas menjadikan rahmat tersebut keluar dari hakikatnya sebagai rahmat, ia tetap menjadi rahmat bagi mereka, hanya saja merekalah yang menolaknya.

Kecintaan kita kepada beliau merupakan hak beliau yang wajib kita tunaikan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya kelak di hari Kiamat. Dengan bekal cinta kita akan berjumpa dengan Nabi saw. di telaga (al Haudl) dan meminum airnya yang penuh berkah. Barangsiapa yang telah meminumnya maka tiada dahaga selamanya.

Dikisahkan bahwa Rasululloh saw. memiliki seorang budak yang bernama Tsauban, ia begitu mencintai tuannya dan selalu ingin berada di sampingnya hingga pada suatu hari ia mendatangi Nabi saw. dengan keadaan yang lain dari biasanya, tubuhnya terlihat kurus, warna kulitnya berubah pucat pasi, dan dari wajahnya itu terlihat sekali pesan kesedihan yang disampaikan. Nabi saw. bertanya, “Apa yang telah mengubah warna kulitmu?” Ia menjawab, “Wahai Rasululloh, tidak ada derita dan penyakit yang menimpaku, tapi ketika aku tidak melihat wajah baginda, aku merasa merindukanmu dan aku merasakan kesepian yang sangat, tidak ada yang bisa menghapus kesepian tersebut kecuali berjumpa dan memandang wajah mulia baginda. Lalu aku teringat akan hari akhir dan merasa takut bila di akhirat nanti aku tidak bisa bersua denganmu karena aku tahu bahwa derajat Rasululloh ditinggikan oleh Allah. Sedangkan aku, bila memang aku masuk surga tentu derajatnya lebih rendah di bawah derajatmu, dan bila aku tidak bisa masuk surga maka selamanya aku tidak akan bisa bertemu dan melihatmu.” Setelah itu turunlah ayat,

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَاُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ اَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيّينَ وَالصّدّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ اُوْلَئِكَ رَفِيقًا(النساء:٦٩)

“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisaa’: 69)

Tsauban adalah teladan bagi orang-orang yang mencintai Rasululloh saw. Ketakutan dirinya bila tidak berjumpa dengan Nabi saw. kelak di akhirat menumbuhkan semangat ketaatan mengikuti perintahnya, menjalankan sunnahnya, dan menjauhi larangannya. Tsauban bukanlah hanya tinggal nama seorang budak yang sangat mencintai Rasululloh saw. saja, tapi ia menjadi jiwa bagi setiap orang yang berusaha meneladani, mencintai, serta mentaati Rasululloh saw. Dan berharap menjadi orang yang dikumpulkan bersamanya kelak di surga dengan bekal cinta yang sesungguhnya.

Sepanjang sejarah orang-orang mukmin yang menyelenggarkan peringatan maulid nabi merupakan ungkapan rasa cinta yang mendalam pada beliau. Sepanjang sejarah belum ada peringatan maulid nabi disalahgunakan untuk perbuatan syirik dan maksiat. Tidak akan pernah ada orang-orang mukmin memperingati maulid untuk berbuat kesesatan. Tidakkah wajar mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad dengan menyelenggarakan maulid? Insya akan kami susulkan bagian kedua, mengapa ada maulid nabi?

Tidak ada komentar: